Blog Makna Kehidupan ini berkaitan dengan wawasan berfikir, kebiasaan dan hal-hal yang berkembang ditengah-tengah masyarakat. Mari bersatu dengan alam untuk memaknai hidup lebih mendalam.

RASA KEPEDULIAN YANG SEMAKIN MEMUDAR

01:20 Unknown 0 Comments




Penduduk miskin di negeri ini masih dalam kategori tinggi. Berdasarkan informasi data statistic mencatat terdapat 31,02 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. Tingginya angka kemiskinan akibat minimnya lapangan pekerjaan dan kian banyaknya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK).

Ditengah potret kemiskinan, hadir juga potret kehidupan yang wah dari para pejabat. Tidak sedikit pejabat negara (EKSEKUTIF, YUDIKATIF dan LEGISLATIF) memiliki kekayaan di atas rata-rata orang awam, bahkan berpuluh hingga berates kali lipatnya. Ini sungguh sebuah IRONI SOSIAL yang bertolak belakang. Cek saja, daftar kekayaan yang dimiliki para pejabat Negara.

Seorang mantan menteri yang juga seorang pengusaha, misalnya, memiliki kekayaan mencapai Rp 23 triliun lebih, dan masih banyak lagi pejabat negara yang bertengger di posisi daerah "berkasta miliarder".

Sebagai pejabat negara, entah yang duduk di jajaran legislatif, yudikatif maupun eksekutif serta instansi-instansi milik pemerintah lain, seharusnya mereka memiliki kesadaran moral dalam mengentaskan keluarga miskin. Perilaku hidup mewah (glamor) masih dipertontonkan secara terang benderang, betapa rendah sikap solidaritas sosial mereka terhadap penduduk yang hidup serba kekurangan.

Sesungguhnya kemiskinan di negeri ini bisa saja secara sederhana dipecahkan, seandainya semua pejabat negara memiliki komitmen bersama dalam mengangkat derajat dan martabat orang-orang miskin. Gagasan sederhana yang mudah adalah menghimpun sebagian kekayaan para pejabat negara yang tergolong miliarder dan atau triliuner itu untuk digunakan bagi pemberdayaan orang miskin.

Anggaplah, jumlah pejabat negara seluruh Indonesia yang tergolong memiliki kekayaan di atas Rp 1 miliar ada 1.000 orang. Andai saja setiap pejabat negara yang kaya raya itu dipungut uang Rp 5 juta saja per bulan untuk pemberdayaan orang miskin, sudah akan terkumpul dana segar sebanyak Rp 5 miliar per bulan. Fantastik bukan???

Belum lagi, kalau dana serupa juga ditarik dari para pengusaha kelas kakap di Tanah Air yang juga memiliki total kekayaan di atas Rp 1 miliar. Tentu saja dana sosial yang terkumpul akan lebih banyak lagi, bukan?

Untuk memudahkan penghitungannya, anggap saja juga jumlah pengusaha yang termasuk golongan di atas ada 1.000 orang. Dengan melakukan hal yang sama, yakni menyisihkan uang Rp 10 juta per bulan dari kantong pribadi setiap pengusaha (miliarder atau triliuner) tersebut, nanti juga akan terakumulasi jumlah uang yang sangat besar dan uang tersebut akan mampu mengangkat ekonomi para pelaku usaha lemah.

Dengan begitu, secara total, uang sosial hasil patungan diatas akan mampu memperbaiki ekonomi puluhan juta orang miskin hingga bisa menjadi keluarga yang berkecukupan.

Akan tetapi, gagasan di atas mungkin hanya menjadi impian yang mustahil terealisasi. Sebab, hingga detik ini, banyak pejabat negara dan orang-orang kaya cenderung memiliki rasa solidaritas sosial rendah. Mereka tampaknya tidak berminat mendermakan sebagian harta pribadi mereka demi memakmurkan orang-orang miskin. Para pejabat negara terus sibuk dengan urusan profesi masing-masing. Mereka bekerja demi menumpuk kekayaan pribadi keluarga masing-masing. Meski diakui, masih ada jenis pejabat negara yang berjiwa ideal memperjuangkan nasib dan kesejahteraan rakyat.

Sangat rentan dizaman era akhir zaman ini, masih banyak pejabat publik / orang-orang kaya yang menolak ajakan-ajakan kemaslahatan, mungkin karena kesibukan atau mungkin juga ketakutan susutnya bumbungan harta hasil ikhtiarnya. Jika Pejabat Publik dan Para orang kaya yang dianggap DONATUR sudah tidak peduli dengan kemaslahatan, bagaimana nanti negeri ini kedepannya.

Tak ayal, total aset dan harta kekayaan pribadi para pejabat negara yang rendah rasa solidaritas sosialnya tersebut terus menggelembung dari tahun ke tahun. Sementara itu, makin banyak orang miskin tetap hidup susah di pinggiran kota, dan pedesaan.

Orang-orang miskin yang umumnya berlatar belakang pendidikan rendah itu juga tidak tahu bagaimana cara agar aspirasi mereka bisa didengarkan oleh para pejabat negara. Sebab, mereka tergolong "buta" pengetahuan dunia birokrasi, "tuli" pengetahuan dunia pemerintahan. Bahkan, sebagian orang-orang miskin itu tidak tahu-menahu kalau keberadaannya hanya menjadi bahan propaganda dan kampanye para calon wakil rakyat, calon pejabat negara yang ingin meraih mimpi-mimpi mereka.

0 comments: